Si petani


Perjalanan sebatang pen pun tidak selalu lurus, apakan lagi aku. Dua puluh dua angka umurku, imbasan dari cahaya kenangan tiga tahun lalu masih terang terpancar dari sebuah sudut yang aku tutupkan dengan papan hitam. Persoalannya, mengapa cahaya itu tidak memudar atau kelam dimamah waktu? Berat mulutku berbicara bagi memujuk hati dan minda, tangan lembut mengusap dada yang hanya tenang pada saat aku menghadap Dia, inilah kekalahan yang tidak pernah aku inginkan dalam babak hidupku. 

Betul lah hidup itu ibarat roda. Tapi kali ini skru roda itu telah longgar lalu tertanggal dan hancur digilis roda yang lain. Dulu ia yang sempat aku bahagiakan dengan segala kekuranganku, gigih aku menyeberang lautan paling dalam sebagai pengorbanan kepada dada yang membuatnya rela mempertaruhkan segala hal demi sebutir berlian yang terlalu tinggi nilainya. Apakah ini sebuah petanda bahawa aku memang telah ditakdirkan hidup di bawah bintang kematian? Bahawa akan selalu ada keping kehilangan di setiap hati yang ingin ku kunci di sudut keabadian. Adakah segala anak rindu yang pernah kutanam akan bertunas menjadi tumbuhan menjalar yang mencucuk aku dengan duri tajam? 

Pada musim apa aku harus bersandar, sementara tiap musim menjauh dengan putaran yang tidak pasti? Laguku, kemarilah, aku memerlukan doa-doamu untuk sekali lagi membasuh parut-parut di dadaku yang setiap orang akan menghindarkan pandangan saat menatapnya. Maafkanlah aku yang tak pernah sempat melahirkanmu lagi karena bunga-bungaku telah mati dicantas sebuah kepergian yang entah bila ia akan berfikir untuk tumbuh lagi dengan air tangan si petani yang dulu pernah kukagumi.

Comments

Anonymous said…
"Tak usah dikenang orang yg pergi,
Kerna disini sentiasa menanti"


-@@@